Wes Craven telah meraih sukses besar dengan Scream. Scream merupakan awal dimulainya era film genre slasher saat dirilis tahun 1996. Dan Scream berhasil melanjutkan sekuelnya hingga Scream 4, meskipun saya kurang suka Scream 4 karena ending yang terlalu dipaksakan.
Pertama kali saya menonton Scream adalah saat kelas 6 SD. Saat itu RCTI yang sedang ulang tahun menayangkan maraton film Hollywood, salah satunya adalah Scream. Sebagai anak umur (kira-kira) 11 tahun, saya tidak terlalu mengerti jalan ceritanya. Namun, saya terpukau dengan ide cerita sekelompok orang diserang pembunuh psikopat bertopeng. Sejak itu saya sangat tergila-gila dengan genre slasher sejenis Scream, I Know What You Did Last Summer, Halloween, Friday 13th, dsb, dll, etc.
Saat saya sudah kuliah dan memiliki akses ke koneksi internet yang sangat cepat, maka mulailah saya mengunduh gila-gilaan dan memenuhi harddisk saya dengan film-film slasher. Dan kesukaan saya tetaplah Scream yang saya download lengkap keempat sekuelnya. Suatu kejutan yang menyenangkan saat saya tahu bahwa tahun 2015 ini ditayangkan Scream TV Series. Tentu saja saya langsung mencari di mana bisa mendownloadnya. Di sini Wes Craven ikut terlibat menjadi executive producer, jangan tanya saya apa bedanya executive producer dengan producer karena saya juga tidak tahu :|
Film dibuka dengan tersebarnya video aib di Youtube yang menimbulkan bullying parah bagi Audrey Jensen (Bex Taylor-Klaus). Kemudian adegan beralih pada Nina Patterson (Bella Thorne), si penyebar video tersebut yang sedang sendirian di rumah. Dan Nina pun menjadi korban pertama dari teror yang sedang berlangsung. Awalnya saya pikir tokoh utama Scream Series ini adalah Audrey, tapi ternyata tokoh utamanya adalah Emma Duvall (Willa Fitzgerald). Emma adalah teman segeng Nina dan teman lamanya Audrey. Nanti bersama dengan Noah Foster (John Karna), cowok geek pecinta film slasher, mereka akan berusaha mengungkapkan siapa pembunuhnya.
Jika sudah pernah menonton Scream dan membandingkan dengan Scream Series, kalian akan menemukan beberapa kesamaan garis besarnya. Seperti akar permasalahan semuanya yang berasal dari ibunya si tokoh utama, telepon misterius dengan suara yang disamarkan, pembunuh yang menyerang saat ada pesta di rumah kosong.
Ceritanya sendiri sebenarnya membuat saya semakin nonton semakin penasaran. Memasuki episode 8, rasanya semua orang memiliki motif dan bukti yang mengarahkan untuk jadi tersangka. Hanya saja di episode 10 yang menjadi episode final season 1 ini, saya langsung bisa menebak siapa si pelaku sejak pertengahan episode.
Jika dibandingkan dengan Scream, tentu saja Scream Series mengalami perkembangan cerita dari segi teknologi. Hello! Di Scream tahun 1996, Sidney Prescott mendapat teror telepon lewat telepon kabel, sementara Emma Duvall di Scream Series 2015 mendapat teror via handphone oleh unknown caller dan unknown chat!
Yeah, biarpun teknologi sudah maju tapi tetap saja tipikal tokoh utamanya tidak berubah. Diancam jangan lapor polisi atau teman-temannya akan mati semua, dan si tokoh utama beneran gak lapor menuruti permainan si pembunuh. Astaga! Mending lapor polisi aja deh, Mbak! *facepalm*
Membicarakan Scream maka berarti membicarakan Ghostface, topeng wajah pembunuh yang dipakai di Scream 1996 itu kembali dipakai di Scream Series meskipun dengan sedikit perubahan. Iya, topeng itu memang benar-benar sudah semacam ikon bagi Scream kan? Oh ya, dan saya sangat senang saat suara samaran yang digunakan saat penelepon misterius tersebut menelepon adalah sama persis dengan suara yang digunakan di Scream 1996. Suara itu benar-benar selalu mengingatkan saya pada Ghostface.
Ghostface 1996
Ghostface 2015
Mengenai akting, saya sedikit merasa akting para pemain agak kaku dan kurang pendalaman karakter. Semoga bisa teratasi di season 2 yang direncanakan tayang April 2016 nanti. Bagaimanapun juga Scream Series adalah suatu bentuk terobosan, rasanya baru kali ini ada film slasher yang dijadikan film serial. Lumayan untuk selingan di tengah kehebohan Marvel TV Series.
No comments :
Post a Comment