Monday, 15 February 2016

[Review] A Copy Of My Mind (2016)


Saya menanti film ini sejak tahun 2015 karena film ini mondar-mandir ke Toronto dan banyak negara lainnya dulu sebelum tayang di Indonesia. Dan syukurlah, saya sangat menyukai film yang mengantarkan Joko Anwar menjadi Sutradara Terbaik FFI 2015 dan menyabet 7 nominasi lainnya di FFI 2015 ini. A Copy Of My Mind adalah film yang memberikan romantisme bukan lewat kata-kata puitis, namun lewat hal-hal remeh yang jadi terasa indah saat jatuh cinta.

Tara Basro memerankan Sari, seorang pegawai facial salon murahan yang hobi menonton DVD bajakan dan berkenalan dengan Alek (Chicco Jerikho), tukang subtitle DVD bajakan. Separuh awal film akan mengantarkan penonton mengenal Alek dan Sari dalam keseharian mereka sebelum bertemu hingga bertemu. Dan kemudian, hidup mereka akan mengalami masalah saat Sari tak sengaja mengambil sebuah DVD berisi bukti kasus pejabat yang menyebabkan mereka diburu.

Tara Basro yang menyabet penghargaan sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik 2015 menampilkan Sari dengan natural. Seorang mbak-mbak salon yang naik metromini dengan wajah agak kusam terkena polusi dan ekspresi wajahnya yang terlihat sangat bahagia saat mencoba-coba home theater di toko elektronik, sederhana namun membahagiakan untuknya. Dan Sari yang cantik eksotis sukses membuat mata para penonton lelaki tertuju padanya, terutama saat scene "keringatan" yang pasti membekas di benak penonton.

Chicco Jerikho sebagai Alek yang seperti mas-mas pinggir jalan biasa yang berkutat dengan subtitle DVD bajakan di kamar kosnya, merokok santai sambil bertelanjang dada di jendela. Jika para lelaki tertuju pada Tara Basro, maka penonton perempuan akan berpuas-puas ria menatap tubuh macho Chicco.

Joko Anwar meracik A Copy Of My Mind dengan budget yang minim membuat Tara Basro tampil tanpa make up sepanjang film. Namun, justru no make up yang memberikan kesan natural yang pas. Suasana jalanan Jakarta saat kampanye pilpres 2014 lalu serta setting di atas metromini yang menceritakan kehidupan di Jakarta apa adanya, begitupun dengan setting lokasi kos-kosan yang pengap dan antri giliran mandi. Pegawai salon dan tukang subtitle mewakili kalangan yang biasa-biasa saja dan tidak berani bermimpi muluk-muluk. Sari yang bercita-cita punya home theater terkesan seperti mimpi remeh, tapi home theater adalah barang mahal baginya.


Chemistry yang terbangun di antara Alek dan Sari sangat natural. Tak ada kata-kata puitis di film ini, namun gesture mereka dan obrolan remeh-temeh tentang DVD bajakan dan buaya ikan terasa romantis saat mendengar mereka membicarakannya. Makan mie ayam di pinggir jalan dan dibantu menyeberangi jalan pun terasa romantis kalau orang jatuh cinta.

Sebenarnya saya sangat menunggu-nunggu adegan mereka berpelukan di balkon seperti dalam potongan scene di atas. Gambar-gambar yang beredar di google images memperlihatkan adegan Alek dan Sari yang berpelukan di balkon dengan latar belakang pemandangan Jakarta. Bukan Jakarta yang gemerlap, namun Jakarta dengan rumah-rumah biasa yang justru terasa lebih dekat dengan realitas hidup. Dan di layar bioskop, saya tidak berhasil menemukan scene yang menurut saya sangat romantis tersebut. Entah terbabat gunting sensor ataukah itu hanya foto selama proses syuting saja.

RATE:
8.5/10

No comments :

Post a Comment