(suara.com) |
Di kota fiktif Astina, terjadi beberapa pembunuhan misterius yang menargetkan para anak muda berbakat seperti pemenang olimpiade, ahli bahasa, atlet, dan lain sebagainya. Yuda (Rizky Nazar), seorang anak dengan ibu yang hilang ingatan mengetahui bahwa dirinya mewarisi gen spesial, Gatotkaca, dan mengemban misi melindungi para keturunan Pandawa dari Kurawa.
WARNING!! Mengandung SPOILER!!
Setelah dua tahun tertunda akibat pandemi, Satria Dewa: Gatotkaca akhirnya mengudara membuka jalan menuju Satria Dewa Semesta, bersaing dengan Jagat Sinema Bumilangit yang sudah dibuka oleh Gundala (2019) dan Wiro Sableng yang belum diketahui nama resmi universenya.
Tema yang digunakan dalam film ini berkiblat pada Mahabharata versi Jawa yang tentu saja ada beberapa perbedaan dengan Mahabharata versi India. Sebelum-sebelum ini, beberapa film yang mengusung tema pewayangan di masa modern memilih menceritakan para tokoh sebagai keturunan ataupun reinkarnasi dari para tokoh penting pewayangan. Namun, Hanung Bramantyo selaku sutradara lebih memilih Satria Dewa: Gatotkaca menjelaskan bahwa semua manusia adalah keturunan Pandawa dan Kurawa namun hanya beberapa orang random saja yang membawa gen dominan Pandawa atau Kurawa. Termasuk juga penjelasan tidak semua Pandawa baik dan tidak semua Kurawa jahat.
Dari segi jalan cerita, plot yang disiapkan menarik dan terlihat siap untuk dikembangkan lebih dalam ke film-film berikutnya. Penjelasan Erlangga dalam bentuk sketsa animasi merupakan salah satu adegan menarik yang cukup membantu bagi para penonton yang masih awam pada kisah pewayangan.
Hanya saja ada beberapa easter eggs yang mungkin membingungkan jika penonton benar-benar awam pada kisah pewayangan. Beberapa contoh adalah adanya Bukit Tetuka dan Candi Tetuka, bagi yang paham pasti mengerti bahwa Tetuka adalah nama kecil Gatotkaca sebelum ia berubah menjadi sakti mandraguna. Begitu juga saat Gege memperkenalkan Dananjaya dengan "Namanya Dananjaya, Pandawa banget!", tentu tidak banyak orang tahu bahwa nama lain Dananjaya adalah nama lain dari Arjuna. Contoh terakhir saat cerita kelahiran Yuda, dokter kesulitan memotong ari-arinya dan hanya bisa dipotong dengan ajimat Kunta seperti halnya kisah kelahiran Gatotkaca dalam pewayangan.
Dari segi akting, sebenarnya biasa aja gak jelek tapi juga gak bagus amat. Malah karakter Quinn (Zsa Zsa Utari) seperti tidak pada tempatnya. Asli ya ini karakter hampir gak ada gunanya, pas muncul juga bikin sebel sampai penonton sebelah saya mengomel tiap kali Quinn muncul. Tapi, saya curiga Quinn ini akan ada peran besar karena auranya yang terlihat ungu dan tidak ada yang tahu artinya aura ungu.
Selain plot yang mendukung, koreografi adu jotos juga menjadi menarik dengan kehadiran Beceng (Yayan Ruhiyan) dan Pande (Cecep Arif Rahman). Malah duel antara mereka lebih menarik dibandingkan final battle antara Yuda dan Beceng saat armor mereka sudah lengkap.
Untuk membandingkan efek, tentu saja efek yang digunakan kalah dibandingkan Holywood. Namun, plot yang kuat dan potensi besar ke depannya bisa menjadi nilai plus. Meskipun mungkin adanya kurang promosi juga membuat saya pribadi lebih condong ke Bumilangit. Ingat waktu Gundala mau rilis? Promosinya gila-gilaan sampai orang yang tidak tertarik juga sedikit banyak tahu tentang ceritanya.
Akhir kata, Satria Dewa Semesta resmi dibuka dengan Satria Dewa: Gatotkaca dan dunia superhero lokal kian menggeliat dengan bioskop yang sudah ramai kembali. Btw, jaketnya Yuda bagus.
"Bergelap-gelaplah dalam terang, berterang-teranglah dalam gelap" - Dananjaya
No comments :
Post a Comment